Artikel Pengadilan

PERSANGKAAN HAKIM DAN QARĪNAH QAḌĀ’IYYAH

(Studi Komparatif KUH Perdata dan Fikih Islam)

oleh:

H. Rifqi Qowiyul Iman, Lc., M.Si

Hakim Pengadilan Agama Tais

b2.png

Dalam sistem hukum acara perdata, pembuktian memegang peran sentral sebagai instrumen untuk menegakkan kebenaran dan keadilan substantif. Salah satu tantangan yang sering dihadapi dalam proses pembuktian adalah kesulitan menghadirkan alat bukti langsung, seperti saksi yang melihat atau mengalami sendiri suatu peristiwa hukum. Untuk mengatasi kondisi “vacuum of proof” ini, hukum membuka ruang bagi penggunaan persangkaan (vermoeden, presumption) sebagai sarana inferensi yuridis.

Namun, pengaturan mengenai persangkaan dalam hukum acara perdata positif Indonesia—khususnya dalam Het Herziene Inlandsch Reglement (HIR) dan Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (RBG)—terbilang sangat terbatas. Pasal 173 HIR dan Pasal 310 RBG hanya memuat satu pasal masing-masing, tanpa mengatur secara komprehensif aspek-aspek esensial seperti klasifikasi, syarat, dan kekuatan pembuktiannya. Kekurangan ini berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dan variasi penerapan di tingkat praktik. Oleh karena itu, pendekatan yang lebih tepat adalah merujuk pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), yang mengatur persangkaan secara lebih detail dalam Pasal 1915–1922.

Selengkapnya.